Hari Anak Nasional, Bukan Sekadar Perayaan Tapi Perjuangan

hari anak nasional modernis

Modernis.co, Malang – Peringatan Hari Anak Nasional tidak layak dijadikan formalitas belaka. Di belakangnya terdapat sejarah dan harapan yang terlalu luhur untuk sekadar mendongkrak nama perseorangan. Hari Anak Nasional lebih butuh aksi nyata.

Setiap tanggal 23 Juli seharusnya lebih dari sekadar agenda tahunan, lebih dari itu, HAN adalah alarm yang berbunyi nyaring, sebab masih terbentang luas perjuangan yang perlu dituntaskan dan pembenahan mendasar yang wajib dilakukan demi pemenuhan hak-hak setiap anak di Indonesia.

Setiap tahun, tema-tema yang diusung dalam peringatan HAN selalu mengajak kita untuk merenungkan berbagai aspek kehidupan anak, mulai dari kesehatan, pendidikan, hingga perlindungan dari kekerasan.

Namun, esensi dari peringatan ini seharusnya tidak hanya berhenti pada seremoni dan ucapan selamat. Ia harus menjadi momentum refleksi mendalam mengenai sejauh mana kita telah berhasil mewujudkan cita-cita luhur untuk memberikan kehidupan yang layak dan bermartabat bagi generasi penerus bangsa.

Faktanya, di balik perayaan-perayaan yang diadakan oleh para tokoh pejabat, dan rangkaian retorika yang terlalu berbusa-busa, tapi tetap saja kita tidak bisa menutup mata terhadap kenyataan sebenarnya.

Terhadap berbagai persoalan pelik yang masih mengintai anak-anak Indonesia. Angka kekerasan terhadap anak, baik fisik, psikis, maupun seksual, masih mengkhawatirkan. Dan satu lagi yang masih jadi masalah besar. Bukan nikah muda, tapi ini lebih parah, yaitu pernikahan anak!

Praktik perkawinan anak yang merenggut masa depan dan hak-hak anak perempuan masih terjadi di berbagai pelosok negeri, bahkan di perkotaan, dengan dalih “yaa ini budaya kami, di keluarga kami memang seperti ini”. Dan dengan santainya “biasa mas dijodohkan”.

Di sisi lain, jutaan anak masih bergulat dengan kemiskinan, kekurangan gizi, dan terbatasnya akses terhadap pendidikan dan layanan kesehatan yang berkualitas. Belum lagi ancaman eksploitasi anak dalam berbagai bentuk, baik ekonomi maupun seksual, yang terus menghantui.

Hari Anak Nasional, dengan demikian, bukan sekadar pesta kembang gula dan tawa riang. Ia adalah cermin yang jujur memantulkan realitas pahit yang dialami sebagian anak-anak Indonesia yang kurang beruntung karena lingkungannya tidak mendorongnya menjadi anak yang beruntung.

Ia adalah pengingat yang kuat bahwa pekerjaan rumah kita dalam melindungi dan memenuhi hak-hak anak masih sangat banyak. sekali lagi, SANGAT BANYAK. pekerjaan rumah kita masih besar. sekali lagi, MASIH BESAR.

Ini adalah panggilan bagi seluruh elemen bangsa, mulai dari pemerintah, keluarga, masyarakat, hingga dunia usaha, untuk tidak hanya beretorika, tetapi bergerak nyata dan terukur. 

Pemerintah memiliki tanggung jawab besar dalam merumuskan dan mengimplementasikan kebijakan yang berpihak pada anak, memastikan penegakan hukum yang tegas bagi pelaku pelanggaran hak anak, serta mengalokasikan anggaran yang memadai untuk program-program perlindungan dan pengembangan anak.

Namun, peran keluarga dan masyarakat juga tidak kalah penting. Keluarga sebagai lingkungan pertama dan utama bagi anak harus menjadi tempat yang aman, penuh kasih sayang, dan mendukung tumbuh kembang anak secara optimal. 

Masyarakat juga memiliki kewajiban moral untuk peduli terhadap isu-isu anak di lingkungannya, melaporkan segala bentuk kekerasan atau penelantaran, serta aktif dalam menciptakan lingkungan yang ramah dan melindungi bagi anak-anak.

Hari Anak Nasional seharusnya menjadi katalisator untuk memperkuat sinergi dan kolaborasi antara berbagai pihak dalam mewujudkan visi Indonesia sebagai negara yang benar-benar peduli dan melindungi anak-anaknya. 

Mari jadikan setiap peringatan Hari Anak Nasional sebagai pemicu semangat baru untuk terus berjuang demi masa depan yang lebih baik bagi anak-anak Indonesia. Bukan hanya sekadar merayakan, tetapi sungguh-sungguh bekerja dan berbenah.

Memastikan bahwa setiap anak memiliki kesempatan yang sama untuk tumbuh sehat, cerdas, ceria, dan terlindungi, sehingga kelak mereka dapat menjadi generasi emas yang kompetitif. Bukan generasi cemas yang bergantung pada orang dalam dan keluarga! 

Imam Fahrudin – Guru MI Muhammadiyah Manarul Islam

Related posts

Leave a Comment